Tuesday, January 15, 2013

[SHORT FICTION] CRUSH


Crush
Lihat deh mbak, Dion itu dulu manis ya,  tapi sekarang kok beda, tapi kalau aku lihat Ares,dia seperti ayahnya.” Komentar Tante Sherril sambil tangannya menunjuk-nunjuk  foto di album ketika Dion masih kanak-kanak.
“Iya lah, tahun ini aku akan menyekolahkan Dion di sekolah khusus finansial. Kelakuannya sekarang  sudah diluar kendaliku. Dia sudah mengabaikan perintahku untuk tidak lagi berpikir tentang menulis cerita yang tidak bermutu itu lagi. Masa depan penulis itu tidak jelas. Banyak penulis yang jadi pengangguran dan miskin.” Jelas Martha, mama Dion panjang lebar.
Sungguh itu yang Dion tidak suka dari mamanya. Selalu memaksakan apa yang diinginkan. Dan banyak yang bilang kalau Dion hanya beruntung sudah dilahirkan. Dan dia lahir tidak dengan keberuntungan. Sering terlintas dipikirannya, mengapa mamanya rela menghembuskan nafas untuk Dion agar berada di tempat yang disebut dunia? Sesal. Itukah yang dirasakan orang di sekelilingnya. Namun perasaan itu ia coba untuk menepisnya jauh-jauh.
Plakk!!!
“Apa ini?” bentak papa sembari menyodorkan lembar jawaban ulangan yang diatasnya tertera angka 80 berwarna merah di muka Dion.
“DASAR TAK BERGUNA!!”
PLAKK!!!
Sekali lagi tamparannya mendarat di pipi Dion. Kali ini lebih keras. Dion tak bergeming. Dicecapnya berkali-kali cairan asin yang keluar dari mulutnya. Darah. Entah, dia sangat akrab dengan rasa darah. Bukan sekali dua kali ayahnya menghajar Dion.
Kali ini kaki ayahnya mengambil peran dalan interupsi fisik Dion. Terus dijejalkan di ulung hati Dion. Hingga dia sulit bernapas dan pingsan.
Ibunya hanya memandang dingin anaknya yang menyedihkan. Mungkin karena terlanjur bosan dengan keadaan rumahnya, dia beringsut pergi.
Keesokan harinya..
Kriiinnnggg!!!
Alarm yang tak diharapkan berbunyi tepat pukul 5.00. pagi ini Dion harus siap-siap berangkat sekolah. Perih di mulutnya belum hilang. Memar di kakinya ia tutup dengan kaos kaki panjang. Seberapapun ia membenci perlakuan ayahnya, namun tetap saja dia tidak ingin nama keluarganya buruk di mata orang lain.
 “Astaga! ada apa dengan bibirmu Dion? sampai biru gitu.” Kinar kaget melihat memar di muka Dion.
“hehe,, nggak apa-apa lagi. Hanya tadi pagi aku terjatuh dari tempat tidur. Gara-garanya malemnya terbawa pertandingan Chris John versus Rocky Juarez. Hahahaha!” jawab Dion ringan dengan tawa khasnya.
“hahahaha….!!!!” Mereka tertawa lepas. Hanya di sekolah bersama sahabatnya Dion bisa tertawa. Sejenak lepas dari pedih hatinya.
“Tch! Kau sangat pintar mengarang, lebam di mulutmu bukan karena jatuh dari dipan. Tapi karena sesuatu yang dihantam dengan keras. Tawa kuda nil-mu itu menampilkan bekas luka di dalam mulut. Memar birunya terlihat rata jadi mustahil wajahmu terbentur meja lampu di pinggir dipan yang runcing. Oh, ya satu lagi, tempat tidurmu tidak terlalu tinggi kan, kasurnya langsung menempel dengan lantai. Aku mendengarnya ketika ibumu bercerita dengan ibuku tentang kamarmu yang berantakan.” terang Sindhu panjang lebar. Suara baritone nya sungguh tidak serasi dengan uraian panjangnya.
“Eh? Apa maksudmu? Kau hanya pandai bicara dengan omong kosongmu itu. Menyebalkan!” bentak Dion, nada bicaranya yang tinggi hingga semua teman sekelasnya menoleh ke arahnya. Dia segera berlari keluar kelas.
Di atap sekolah, air matanya menetes. Dia bukan sedang ingin menangis. Hanya menetes saja tanpa rasa. Lututnya melemas, dia jatuh terduduk. Kepalanya menunduk dan tubuhnya bertumpu pada kedua tangannya.
“Ada apa dengan dirimu Dion, sungguh aku ingin lebih mengenalmu. Kau bodoh! Kenapa harus menutupinya, apa kau tak sadar kalau aku bisa melihat pedih itu dihatimu.” Gumam Sindhu dalam hati, kehadirannya yang tidak disadari oleh Dion.
“,,AAARRRGRGGGHHHH,,!!!! Tuhan, apa kau mendengar jeritanku ini? Apa kau masih ingin melihat hambamu ini? Aku disini Tuhan, hanya ingin memohonmu agar aku takkan pernah lagi terlahir.”  Tiba-tiba Dion menjerit histeris.
“h-hanya itu… Tuhan,!” kata Dion pelan. Pandangannya mulai gelap. Dia pingsan.
*****
April 1992,
“Martha, jaga Abe baik-baik ya! Ibu tahu kalian berdua saling sayang, restu ibu menyertai kalian berdua.” Kata ibu Abe,
Abe adalah tunangan Martha yang masih muda pada saat itu. Abe adalah dosen muda yang di salah satu universitas negeri ternama, tempat Martha kuliah. Abe sangat mencintai Martha. Begitupun sebaliknya.
“Tentu saja bu,” jawab Martha.
“Ini adalah suatu peneguhan, orang inilah yang harus. Kau yang akan kucintai. Baik dulu maupun di masa yang akan datang.” Gumam Martha dalam hati.
DOORRR,,,!!! Letusan pistol Sora menghentak lamunan Martha.
“mengapa bukan aku Martha? Akulah  yang menunggumu selama 18 tahun itu,!” Sora yang juga merupakan Ayah Dion di kisah selanjutnya. Selisih umur Martha dengan Sora 10 tahun. Dia sangat berambisi untuk memilikinya.
“Bila aku tak bisa memilikimu, maka takkan kuizinkan orang lain memilikimu” ancaman Sora mengacungkan senjatanya ke arah Abe. Ketakutan luar biasa melanda Martha. Dia takkan bisa memaafkan dirinya jika terjadi hal buruk yang menimpa kekasihnya.
“Cukup Sora! Baiklah aku akan bersamamu,” kalimat itu terlalu berat untuk Martha ucapkan.
****
Mata Dion yang bulat mengerjap beberapa detik untuk menyadari sedang berada dimana dirinya. Terlihat sekat putih, kotak P3K dan laki-laki yang merusak moodnya pagi ini.
“hey, kau sudah sadar?” Sindhu sudah berada di hadapannya.
“Aku tidak apa-apa. Hanya kecapekan aja” jawab Dion.
 “Okay, sekarang minum ini! Jus strawberry yang manis bagus untuk merangsang pertumbuhan otak.” Sindhu memukul kecil dahi Dion dengan sekotak jus strawberry 100ml.
“Cih, terus saja meledekku! Setidaknya diriku bukan detektif abal-abal yang hobinya mengusik kehidupan orang lain” ucap Dion sarkastik.
Sindhu tak bisa berhenti mengacak rambut Dion. Mereka tertawa bersama.
****
Pulang sekolah.
Di rumah tampak sepi.
“aku pulang!”Dion mengucap salam.
“kau …. Dion, kemarilah!” suara papa Dion terdengar parau. Penampilannya sungguh kacau. Rambutnya acak-acakan dengan pandangan kosong. Sambil telapak tangannya mengepal.
“kau bukan anakku! Iya kan! Kau mirip dengannya! Dengan masa lalu ku”
“………” Dion tak bergeming
“kau memang kesalahan yang harus dilenyapkan!” tangan Sora mengacungkan pisau. Ia seperti gelap mata. Tangannya menghunus pisau kearah Dion. Dengan sigap Dion mengelak dan tangan Dion mulai menghalangi pisau dari tubuhnya.Tubuh Sora jatuh tergelincir dan pisau itu berbalik menusuk jantungnya. Darah segar mengalir dari tubuhnya.
“Papa! Papa!!” tangan Dion bergetar, nafasnya tidak beraturan.
“Bukan!! Bukan aku pembunuhnya!! Bukan aku!! AARRGGHHH!!!” Dion berteriak histeris hingga tenggorokannya tercekat.
*********
Rumah Dion penuh dengan polisi yang melakukan olah TKP Kematian Sora. Penyidikan tersebut memberatkan Dion sebagai orang yang ada si TKP. Sindhu ditunjuk sebagai orang yang menelaah kasus tersebut. Walaupun usianya masih sangat muda tetapi dia telah memegang peran penting dalam investigasi dunia kriminal.
di tempat penyelidikan
“Nona Dion Soramane, bagaimana anda bisa berada di TKP?” Tanya polisi.
Dion masih diam, dia seakan bisu. pikirannya kosong. dia tak percaya apa yang terjadi sebenarnya.
“Nona Dion! jika anda terus diam, maka anda akan menyulitkan kami dan itu juga memberatkan anda!”
Sindhu masih bergelut dengan kasusnya.
“tidak mungkin Dion pelakunya. Aku tahu dia.” gumamnya. beberapa saat kemudian anggota tim forensik datang.
“Tuan Sindhu, ini hasil laporan dari jasad almarhum Sora. Tuan Sora setelah diselidiki lebih lanjut ternyata almarhum adalah penderita Sindrom Jacob,yaitu penyakit genetik yang cenderung suka menyakiti orang didekatnya, atau psikopat.” jelas anggota tim forensik tersebut.
“Sebentar, tangan Dion bahkan tidak ada setetes pun darah. tekanan dalam tusukan tersebut ada di perut samping. Kalaupun orang berniat membunuh maka pisau itu akan langsung dihujamkan pada jantung. Dan lagi, Om Sora meninggal secara pelan-pelan karena mengalami pendarahan Vena.” jelas Sindhu.
“Apa pikiran mu sama dengan ku?” seru mereka bersamaan. “Yeah! ini akan menjadi bukti yang kuat!” seru Sindhu. Masih ada secercah harapan untuk menyelamatkan Dion dari kesulitan yang tengah dihadapinya.
*****
keadaan Ibu Dion, Martha tak kalah mengkhawatirkan.
“Telah lama aku mempertahankan keluarga ini. kenapa harus menjadi seperti ini. Bukan ini Tuhan yang ku mau! kenapa Kau tak pernah menjawab do’a ku?” teriak Martha histeris.
karena lelah dia tertidur lelap.
“Maafkan aku Martha, ini semua salahku,. karena diriku kau jadi menderita. bukan ini juga yang ku mau” suara Sora menggema di seluruh ruang.
“Mama, kenapa mama seperti ini? maafkan Ares ma. Ares sayang mama. jangan tinggalkan Ares sendirian. Ares janji nggak akan nakal lagi, bener deh, hhuhuhu” kini terdengar Ares menangis.
kemudian seketika keadaan di sekelilingnya berubah gelap pekat. samar-samar tampak bayangan Dion tersenyum hangat.
“MAMA,, TERIMA KASIH………….!” Kalimat terakhir milik Dion seakan menghujam jantungnya. Dion yang selama ini terabaikan, Dion yang selama ini dia benci, Dion yang tak berguna. Naluri keibuan telah menyadarkannya, bahwa selama ini Dion tak pernah tersenyum untuknya. Martha benar-benar ingin melihat putrinya tersenyum, walau itu permintaan yang terlalu berlebihan.
Ilusi yang dialami Martha masih berlanjut. Terlihat pusaran hitam dan menyeret tubuh Martha untuk terjun ke dalam pusaran itu. Tiba-tiba Martha terbangun. dia kembali menangis sesenggukan.
“Tuhan, beri aku hidup untuk sekedar memandang senyuman Dion.”
***********

di Kantor Polisi.
Dion sudah dibuktikan tidak bersalah. dengan diantar Sindhu dia mengunjungi makam ayahnya, Sora.
“Hah! jadi ini yang ayah inginkan?! meninggalkan ku, mama, juga Ares? sungguh aku tidak suka. Dion tidak ingin punya ayah pengecut! kenapa seperti ini? kenapa harus ayah ku? apa kau masih ayah ku? maafkan jika ku tidak ayah anggap sebagai anak. aku hanya ingin ayah tahu. AKU SAYANG AYAH!” air matanya menetes. tangannya memeluk nisan ayahnya.
Sindhu hanya diam. dia membiarkan apa yang ingin Dion lakukan. Sindhu ingin mencoba mengerti perasaan Dion. setelah agak tenang, Sindhu maju satu langkah mendekati pusara.
“Om Sora, Aku SINDHU DARMA yang kini sangat menyayangi anak anda. Saya berjanji akan menjaga Dion. mohon dimengerti.” kata Sindhu tegas. Dion mencubit lengannya.
“Hei, ini bukan waktunya bercanda! Apa maksud mu?” gertak Dion.
“Aaaww,, sakit! asal kau tahu! aku ini serius!” kata Sindhu.
“Aish. Kau ini memang menyebalkan” caci Dion, lalu dia mengecup pipi Sindhu, hingga membuat wajah lelaki disebelahnya semerah tomat. “Terima kasih.”
“KAKAAAAAK,,,!!!” Ares adik Dion berlari menghampiri Dion. “Maafkan aku kak, aku terlalu angkuh untuk menganggapmu sebagai kakakku. Padahal kau kakakku satu-satunya. aku tidak ingin kehilangan kakak seperti aku kehilangan ayah.” air mata menetes di pipi mungil Ares.
Dari kejauhan terlihat Martha, mama Dion melambaikan tangan dan tersenyum bahagia.
‘’Hanya kalian yang aku punya sekarang, Anak-anakku aku berjanji akan menjadi ibu yang selau menyayangi kalian.” gumam Martha dalam hati
END

 A/N: this is my old fiction since 2010. Hope you like it. It spoken in Indonesian.