Crush
“Lihat deh mbak, Dion itu dulu
manis ya, tapi sekarang kok beda, tapi kalau aku lihat Ares,dia seperti
ayahnya.” Komentar Tante Sherril sambil tangannya menunjuk-nunjuk foto di
album ketika Dion masih kanak-kanak.
“Iya lah, tahun ini aku akan menyekolahkan Dion di
sekolah khusus finansial. Kelakuannya sekarang sudah diluar kendaliku.
Dia sudah mengabaikan perintahku untuk tidak lagi berpikir tentang menulis
cerita yang tidak bermutu itu lagi. Masa depan penulis itu tidak jelas. Banyak
penulis yang jadi pengangguran dan miskin.” Jelas Martha, mama Dion panjang
lebar.
Sungguh itu yang Dion tidak suka dari mamanya.
Selalu memaksakan apa yang diinginkan. Dan banyak yang bilang kalau Dion hanya
beruntung sudah dilahirkan. Dan dia lahir tidak dengan keberuntungan. Sering
terlintas dipikirannya, mengapa mamanya rela menghembuskan nafas untuk Dion
agar berada di tempat yang disebut dunia? Sesal. Itukah yang dirasakan orang di
sekelilingnya. Namun perasaan itu ia coba untuk menepisnya jauh-jauh.
Plakk!!!
“Apa ini?” bentak papa sembari menyodorkan lembar
jawaban ulangan yang diatasnya tertera angka 80 berwarna merah di muka Dion.
“DASAR TAK BERGUNA!!”
PLAKK!!!
Sekali lagi tamparannya mendarat di pipi Dion. Kali
ini lebih keras. Dion tak bergeming. Dicecapnya berkali-kali cairan asin yang
keluar dari mulutnya. Darah. Entah, dia sangat akrab dengan rasa darah. Bukan
sekali dua kali ayahnya menghajar Dion.
Kali ini kaki ayahnya mengambil peran dalan
interupsi fisik Dion. Terus dijejalkan di ulung hati Dion. Hingga dia sulit
bernapas dan pingsan.
Ibunya hanya memandang dingin anaknya yang
menyedihkan. Mungkin karena terlanjur bosan dengan keadaan rumahnya, dia
beringsut pergi.
Keesokan harinya..
Kriiinnnggg!!!
Alarm yang tak diharapkan berbunyi tepat pukul 5.00.
pagi ini Dion harus siap-siap berangkat sekolah. Perih di mulutnya belum
hilang. Memar di kakinya ia tutup dengan kaos kaki panjang. Seberapapun ia
membenci perlakuan ayahnya, namun tetap saja dia tidak ingin nama keluarganya
buruk di mata orang lain.
“Astaga! ada
apa dengan bibirmu Dion? sampai biru gitu.” Kinar kaget melihat memar di muka
Dion.
“hehe,, nggak apa-apa lagi. Hanya tadi pagi aku
terjatuh dari tempat tidur. Gara-garanya malemnya terbawa pertandingan Chris
John versus Rocky Juarez. Hahahaha!” jawab Dion ringan dengan tawa khasnya.
“hahahaha….!!!!” Mereka tertawa lepas. Hanya di
sekolah bersama sahabatnya Dion bisa tertawa. Sejenak lepas dari pedih hatinya.
“Tch! Kau sangat pintar mengarang, lebam di mulutmu
bukan karena jatuh dari dipan. Tapi karena sesuatu yang dihantam dengan keras.
Tawa kuda nil-mu itu menampilkan bekas luka di dalam mulut. Memar birunya
terlihat rata jadi mustahil wajahmu terbentur meja lampu di pinggir dipan yang
runcing. Oh, ya satu lagi, tempat tidurmu tidak terlalu tinggi kan, kasurnya
langsung menempel dengan lantai. Aku mendengarnya ketika ibumu bercerita dengan
ibuku tentang kamarmu yang berantakan.” terang Sindhu panjang lebar. Suara
baritone nya sungguh tidak serasi dengan uraian panjangnya.
“Eh? Apa maksudmu? Kau hanya pandai bicara dengan
omong kosongmu itu. Menyebalkan!” bentak Dion, nada bicaranya yang tinggi
hingga semua teman sekelasnya menoleh ke arahnya. Dia segera berlari keluar
kelas.
Di atap sekolah, air matanya menetes. Dia bukan
sedang ingin menangis. Hanya menetes saja tanpa rasa. Lututnya melemas, dia
jatuh terduduk. Kepalanya menunduk dan tubuhnya bertumpu pada kedua tangannya.
“Ada apa dengan dirimu Dion, sungguh aku ingin
lebih mengenalmu. Kau bodoh! Kenapa harus menutupinya, apa kau tak sadar kalau
aku bisa melihat pedih itu dihatimu.” Gumam Sindhu dalam hati, kehadirannya
yang tidak disadari oleh Dion.
“,,AAARRRGRGGGHHHH,,!!!! Tuhan, apa kau mendengar
jeritanku ini? Apa kau masih ingin melihat hambamu ini? Aku disini Tuhan, hanya
ingin memohonmu agar aku takkan pernah lagi terlahir.” Tiba-tiba Dion
menjerit histeris.
“h-hanya itu… Tuhan,!” kata Dion pelan.
Pandangannya mulai gelap. Dia pingsan.
*****
April
1992,
“Martha,
jaga Abe baik-baik ya! Ibu tahu kalian berdua saling sayang, restu ibu menyertai
kalian berdua.” Kata ibu Abe,
Abe adalah
tunangan Martha yang masih muda pada saat itu. Abe adalah dosen muda yang di
salah satu universitas negeri ternama, tempat Martha kuliah. Abe sangat
mencintai Martha. Begitupun sebaliknya.
“Tentu
saja bu,” jawab Martha.
“Ini
adalah suatu peneguhan, orang inilah yang harus. Kau yang akan kucintai. Baik
dulu maupun di masa yang akan datang.” Gumam Martha dalam hati.
DOORRR,,,!!!
Letusan pistol Sora menghentak lamunan Martha.
“mengapa
bukan aku Martha? Akulah yang menunggumu selama 18 tahun itu,!” Sora yang
juga merupakan Ayah Dion di kisah selanjutnya. Selisih umur Martha dengan Sora
10 tahun. Dia sangat berambisi untuk memilikinya.
“Bila aku
tak bisa memilikimu, maka takkan kuizinkan orang lain memilikimu” ancaman Sora mengacungkan
senjatanya ke arah Abe. Ketakutan luar biasa melanda Martha. Dia takkan bisa
memaafkan dirinya jika terjadi hal buruk yang menimpa kekasihnya.
“Cukup
Sora! Baiklah aku akan bersamamu,” kalimat itu terlalu berat untuk Martha
ucapkan.
****
Mata Dion
yang bulat mengerjap beberapa detik untuk menyadari sedang berada dimana
dirinya. Terlihat sekat putih, kotak P3K dan laki-laki yang merusak moodnya
pagi ini.
“hey, kau
sudah sadar?” Sindhu sudah berada di hadapannya.
“Aku tidak
apa-apa. Hanya kecapekan aja” jawab Dion.
“Okay, sekarang minum ini! Jus strawberry yang
manis bagus untuk merangsang pertumbuhan otak.” Sindhu memukul kecil dahi Dion
dengan sekotak jus strawberry 100ml.
“Cih,
terus saja meledekku! Setidaknya diriku bukan detektif abal-abal yang hobinya
mengusik kehidupan orang lain” ucap Dion sarkastik.
Sindhu tak
bisa berhenti mengacak rambut Dion. Mereka tertawa bersama.
****
Pulang
sekolah.
Di rumah
tampak sepi.
“aku
pulang!”Dion mengucap salam.
“kau …. Dion,
kemarilah!” suara papa Dion terdengar parau. Penampilannya sungguh kacau.
Rambutnya acak-acakan dengan pandangan kosong. Sambil telapak tangannya
mengepal.
“kau bukan
anakku! Iya kan! Kau mirip dengannya! Dengan masa lalu ku”
“………” Dion
tak bergeming
“kau
memang kesalahan yang harus dilenyapkan!” tangan Sora mengacungkan pisau. Ia
seperti gelap mata. Tangannya menghunus pisau kearah Dion. Dengan sigap Dion
mengelak dan tangan Dion mulai menghalangi pisau dari tubuhnya.Tubuh Sora jatuh
tergelincir dan pisau itu berbalik menusuk jantungnya. Darah segar mengalir
dari tubuhnya.
“Papa!
Papa!!” tangan Dion bergetar, nafasnya tidak beraturan.
“Bukan!!
Bukan aku pembunuhnya!! Bukan aku!! AARRGGHHH!!!” Dion berteriak histeris
hingga tenggorokannya tercekat.
*********
Rumah Dion
penuh dengan polisi yang melakukan olah TKP Kematian Sora. Penyidikan tersebut
memberatkan Dion sebagai orang yang ada si TKP. Sindhu ditunjuk sebagai orang
yang menelaah kasus tersebut. Walaupun usianya masih sangat muda tetapi dia
telah memegang peran penting dalam investigasi dunia kriminal.
di tempat
penyelidikan
“Nona Dion
Soramane, bagaimana anda bisa berada di TKP?” Tanya polisi.
Dion masih
diam, dia seakan bisu. pikirannya kosong. dia tak percaya apa yang terjadi
sebenarnya.
“Nona
Dion! jika anda terus diam, maka anda akan menyulitkan kami dan itu juga
memberatkan anda!”
Sindhu
masih bergelut dengan kasusnya.
“tidak
mungkin Dion pelakunya. Aku tahu dia.” gumamnya. beberapa saat kemudian anggota
tim forensik datang.
“Tuan
Sindhu, ini hasil laporan dari jasad almarhum Sora. Tuan Sora setelah
diselidiki lebih lanjut ternyata almarhum adalah penderita Sindrom Jacob,yaitu
penyakit genetik yang cenderung suka menyakiti orang didekatnya, atau psikopat.”
jelas anggota tim forensik tersebut.
“Sebentar,
tangan Dion bahkan tidak ada setetes pun darah. tekanan dalam tusukan tersebut
ada di perut samping. Kalaupun orang berniat membunuh maka pisau itu akan
langsung dihujamkan pada jantung. Dan lagi, Om Sora meninggal secara
pelan-pelan karena mengalami pendarahan Vena.” jelas Sindhu.
“Apa
pikiran mu sama dengan ku?” seru mereka bersamaan. “Yeah! ini akan menjadi
bukti yang kuat!” seru Sindhu. Masih ada secercah harapan untuk menyelamatkan
Dion dari kesulitan yang tengah dihadapinya.
*****
keadaan
Ibu Dion, Martha tak kalah mengkhawatirkan.
“Telah
lama aku mempertahankan keluarga ini. kenapa harus menjadi seperti ini. Bukan
ini Tuhan yang ku mau! kenapa Kau tak pernah menjawab do’a ku?” teriak Martha
histeris.
karena
lelah dia tertidur lelap.
“Maafkan
aku Martha, ini semua salahku,. karena diriku kau jadi menderita. bukan ini
juga yang ku mau” suara Sora menggema di seluruh ruang.
“Mama, kenapa
mama seperti ini? maafkan Ares ma. Ares sayang mama. jangan tinggalkan Ares
sendirian. Ares janji nggak akan nakal lagi, bener deh, hhuhuhu” kini terdengar
Ares menangis.
kemudian
seketika keadaan di sekelilingnya berubah gelap pekat. samar-samar tampak
bayangan Dion tersenyum hangat.
“MAMA,,
TERIMA KASIH………….!” Kalimat terakhir milik Dion seakan menghujam jantungnya.
Dion yang selama ini terabaikan, Dion yang selama ini dia benci, Dion yang tak
berguna. Naluri keibuan telah menyadarkannya, bahwa selama ini Dion tak pernah
tersenyum untuknya. Martha benar-benar ingin melihat putrinya tersenyum, walau
itu permintaan yang terlalu berlebihan.
Ilusi yang
dialami Martha masih berlanjut. Terlihat pusaran hitam dan menyeret tubuh
Martha untuk terjun ke dalam pusaran itu. Tiba-tiba Martha terbangun. dia
kembali menangis sesenggukan.
“Tuhan,
beri aku hidup untuk sekedar memandang senyuman Dion.”
***********
di Kantor
Polisi.
Dion sudah
dibuktikan tidak bersalah. dengan diantar Sindhu dia mengunjungi makam ayahnya,
Sora.
“Hah! jadi
ini yang ayah inginkan?! meninggalkan ku, mama, juga Ares? sungguh aku tidak
suka. Dion tidak ingin punya ayah pengecut! kenapa seperti ini? kenapa harus
ayah ku? apa kau masih ayah ku? maafkan jika ku tidak ayah anggap sebagai anak.
aku hanya ingin ayah tahu. AKU SAYANG AYAH!” air matanya menetes. tangannya
memeluk nisan ayahnya.
Sindhu
hanya diam. dia membiarkan apa yang ingin Dion lakukan. Sindhu ingin mencoba
mengerti perasaan Dion. setelah agak tenang, Sindhu maju satu langkah mendekati
pusara.
“Om Sora,
Aku SINDHU DARMA yang kini sangat menyayangi anak anda. Saya berjanji akan
menjaga Dion. mohon dimengerti.” kata Sindhu tegas. Dion mencubit lengannya.
“Hei, ini
bukan waktunya bercanda! Apa maksud mu?” gertak Dion.
“Aaaww,,
sakit! asal kau tahu! aku ini serius!” kata Sindhu.
“Aish. Kau
ini memang menyebalkan” caci Dion, lalu dia mengecup pipi Sindhu, hingga
membuat wajah lelaki disebelahnya semerah tomat. “Terima kasih.”
“KAKAAAAAK,,,!!!”
Ares adik Dion berlari menghampiri Dion. “Maafkan aku kak, aku terlalu angkuh
untuk menganggapmu sebagai kakakku. Padahal kau kakakku satu-satunya. aku tidak
ingin kehilangan kakak seperti aku kehilangan ayah.” air mata menetes di pipi
mungil Ares.
Dari
kejauhan terlihat Martha, mama Dion melambaikan tangan dan tersenyum bahagia.
‘’Hanya kalian yang aku punya sekarang, Anak-anakku aku
berjanji akan menjadi ibu yang selau menyayangi kalian.” gumam Martha dalam
hati
END